Pembelajaran dari Lapangan: Kunjungan Rimbawan Indonesia ke Thailand
Sebanyak tiga puluh pegiat kehutanan Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengunjungi tiga area kehutanan di Thailand tanggal 17-21 Juni 2019 untuk belajar tentang pengembangan hutan rakyat di Thailand melalui studi lapangan yang difasilitasi oleh RECOFTC.
Selama lima hari, para peserta berbagi pengalaman dan mendapatkan pelajaran tentang pengelolaan hutan kemasyarakatan, kemitraan swasta publik, usaha kecil dan kolaborasi antara petani dan pemerintah melalui kehutanan masyarakat.
“Saya sangat senang mendapatkan ilmu baru tentang kemitraan publik-swasta di sini,” kata Bapak Dadan Kuswardhana, Kepala Unit Pengelolaan Hutan di Batu Lanteh, Provinsi Nusa Tenggara Barat. "Sistem yang diterapkan sangat berbeda dengan di Indonesia, namun berjalan sangat baik untuk kedua belah pihak."
Agenda kegiatan kunjungan belajar yang dirancang oleh tim RECOFTC memang bertujuan untuk membuat semua peserta aktif terlibat dan belajar secara langsung dari tiga studi kasus kehutanan masyarakat, yaitu Hutan Kemasyarakatan Baan Huai Hin Dum di Provinsi Suphanburi, Hutan Kemasyarakatan Baan Samakkee Dham di Provinsi Kanchanaburi, dan Hutan Kemasyarakatan Baan Huai Sapan Samakkee di Provinsi Kanchanaburi.
Di Hutan Kemasyarakatan Baan Huai Hin Dum, peserta berfokus pada praktik pengelolaan hutan adat, pelestarian identitas etnis Karen, dan pemberdayaan perempuan dan anak muda. Di area ini, masyarakat suku Karen Thailand telah berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan dan pertanian rotasi di Taman Nasional Phu Toei. Selama bertahun-tahun, masyarakat suku Karen melarikan diri dari perang di Myanmar dan hidup di Thailand. Secara historis, mata pencaharian mereka bergantung pada pertanian yang berpindah. Sampai saat ini, masyarakat suku Karen membudidayakan berbagai produk termasuk tekstil, rebung, beras, dan sayuran.
"Di sini, hak-hak adat suku Karen tidak mendapat pengakuan secara hukum," lanjut Bapak Dadan Kuswardhana. “Namun, pada praktiknya, ada kesepakatan verbal yang memungkinkan mereka berbudidaya di Taman Nasional asalkan mematuhi aturan yang berlaku, seperti tidak menggunakan pestisida atau alat berat. Sangatlah menarik untuk mempelajari bagaimana masyarakat menghormati perjanjian lisan karena ini belum terjadi di Indonesia.”
Selain perjanjian lisan informal, ada komunikasi formal antara masyarakat suku Karen dan perwakilan Taman Nasional Phu Toei. Perwakilan masyarakat Karen mengambil bagian dalam pertemuan bulanan dengan Komite Penasihat Taman Nasional untuk memutuskan manajemen taman.
Di Hutan Masyarakat Baan Samakkee Dham, peserta belajar tentang pengembangan usaha berbasis hutan kemasyarakatan. Kewirausahaan Hutan Masyarakat menerima dana dari inisiatif pemerintah untuk membangun fasilitas baru. Sementara produk dan kemitraan lokal serupa dengan yang ada di Hutan Masyarakat Baan Huai Sapan Samakkee, komunitas ini merangkul kemitraan internasional dengan Jepang untuk membantu menjaga kelestarian hutannya.
Saat kunjungan lapangan ke Hutan Masyarakat Huai Sapan Samakkee, para peserta mengeksplorasi pengelolaan hutan rakyat melalui kemitraan dan jaringan. Di sini, hutan kemasyarakatan melibatkan kolaborasi berbagai pihak di antaranya pihak perusahaan (Siam Cement Group), pihak akademisi (Universitas Rajabhat di Kanchanaburi dan sekolah), kantor kehutanan provinsi, kuil, kantor kecamatan, dan perwakilan masyarakat.
Bapak Asep Sugih Suntana, Manajer Proyek Nasional Program Investasi Hutan (FIP) II di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memuji kegiatan kunjungan lapangan ini.
“Program ini sangat bermanfaat dan informatif,” katanya. “Saya belajar banyak dan saya pikir kegiatan kunjungan ini sangat membantu karena ketika kita terjebak di kantor hanya dengan referensi saja, kita tidak benar-benar belajar dan merasakan seperti apa rasanya kehidupan di kehutanan masyarakat di Thailand, serta bagaimana caranya mereka membuat kemitraan mereka berjalan sangat baik.”
Perjalanan ini menyoroti peran penting para pemangku kepentingan dalam pengembangan hutan kemasyarakatan Thailand - dari lembaga pemerintah, lembaga akademik, hingga pelaku sektor swasta, hingga masyarakat lokal. Para peserta menilai faktor-faktor utama yang memungkinkan pengelolaan hutan rakyat dan pengembangan usaha berbasis hutan yang efektif. Ini sering termasuk kebijakan partisipatif, pengaturan kelembagaan yang saling menguntungkan dan dukungan keuangan kelembagaan. Pada akhirnya jelas bahwa masing-masing peserta sangat ingin menggunakan pengalaman ini untuk membantu komunitas mereka sendiri di Indonesia.
“Saya percaya kita masing-masing telah mendapat pengetahuan eksplisit yang didapat secara langsung dari kunjungan ini,” kata Bapak Asep. “Kami memiliki banyak ilmu baru untuk dibagikan saat kami pulang dan menerapkannya di rumah kami sendiri. Selain itu, dengan menggabungkan pengalaman dari kunjungan studi Thailand dengan pengetahuan tradisional yang telah kami pelajari di Indonesia, kami mungkin akan menghasilkan pendekatan baru untuk mendukung kehutanan masyarakat dalam bentuk pengetahuan yang berbeda.”
###
Kegiatan RECOFTC dapat terlaksana berkat dukungan Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) dan Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA).