Di hutan Sulawesi Selatan, Indonesia, para petani penggarap harus berjuang untuk bertahan hidup. Akan tetapi, Marni (38 tahun) justru membuat kemajuan pesat.
Walaupun baru mengeluarkan biaya untuk memasang seng di atap rumahnya, Marni masih punya cukup uang untuk membayar biaya kuliah anaknya, serta menyekolahkan adiknya ke sekolah guru. Marni menuai hasil dari keputusan yang dibuatnya beberapa tahun lalu untuk menggarap kebun kopi ramah lingkungan.
Beberapa tahun lalu, semua orang di kampung Marni menanam padi dan berbagai tanaman pangan lain. Tapi pemerintah mengkhawatirkan masalah erosi dan kerusakan hutan karena teknik pertanian monokultur tersebut. Jadi ketika ahli pertanian dan pemerintah menawarkan benih dan pelatihan penanaman kopi, Marni menyambutnya dengan gembira.
“Sekarang saya bersyukur bisa menghasilkan uang lebih banyak, bahkan memperluas kebun saya,” kata Marni di desanya di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Keberhasilan Marni merupakan hasil yang dicapai berkat kolaborasi RECOFTC dengan penduduk desa di kawasan terpencil Sulawesi Selatan dalam mengembangkan sistem mata pencaharian yang berkelanjutan dari hutan setempat. RECOFTC memfasilitasi segala upaya pemberdayaan masyarakat dan hutan desa. Di sini, masyarakat mendapat keleluasaan yang lebih besar dan bertanggung jawab untuk mengelola hutan yang menjadi andalan untuk bertahan hidup.
Keterampilan baru, hasil yang lebih baik
Untuk memulai gagasan tersebut, selama bertahun-tahun RECOFTC membangun kerjasama dengan masyarakat lokal, dinas kehutanan dan pertanian, perguruan tinggi setempat, dan organisasi masyarakat. Mereka bekerja sama demi memperoleh izin penggunaan lahan untuk warga desa, yang juga mendapatkan pelatihan wanatani dan teknik pertanian berkelanjutan lainnya. Selagi warga mengasah ilmu barunya selama bertahun-tahun, kemampuan mereka untuk mengelola perkebunan kopi kecil pun berkembang dan kualitas kopi yang dihasilkan juga lebih baik. Baru-baru ini, petani-petani tersebut membentuk koperasi untuk menjaga harga biji kopi mereka dan untuk menembus pasar yang lebih besar.
“Petani-petani ini paham bahwa kualitas kopi yang lebih baik berarti harga yang lebih tinggi ,” kata Hasri, Ketua Koperasi Akar Tani yang kini memiliki 95 petani sebagai anggota. “Mereka mengerti pentingnya pertanian yang berkelanjutan.”
Marni, yang juga merupakan anggota koperasi, mengakui bahwa selama beberapa tahun terakhir ia mempelajari teknik-teknik panen dan pemrosesan biji kopi. Seperti hanya memetik biji kopi yang telah matang, ceri merah, dan memilah dengan benar. Ia juga paham bagaimana merawat tanaman kopi arabika di lahan seluas tiga hektar yang digarapnya.
“Kami tahu kami harus menanam pohon lebih banyak untuk menaungi tanaman kopi, kalau tidak begitu, kopinya tidak akan hidup,” katanya. “Jadi kami menanam pohon nangka, mahoni dan banyak pohon lain.”
Kini, Marni bisa menjual satu kilogram biji kopinya seharga Rp.120.000,- atau kurang lebih USD 8,5. Bandingkan dengan saat ia mulai menanam kopi 10 tahun lalu, harganya hanya Rp.20.000,-.
Perbaikan lahan, peningkatan penghasilan
Selain kolaborasi untuk meningkatkan penghasilan masyarakat lokal, pelestarian hutan di sekelilingnya juga penting. Indonesia memiliki beberapa hutan tropis terbesar di dunia, yang menyerap karbon dan sangat penting untuk menghadapi perubahan iklim dan keberlanjutan keanekaragaman hayati. Tapi sebagaimana banyak kawasan lain di Asia Tenggara, hutan-hutan tersebut mengalami degradasi dan penggundulan hutan yang parah, akibat pertanian tidak berkelanjutan, penebangan liar dan pembangunan yang tidak terkendali.
Hutan desa dimaksudkan untuk melindungi hutan dengan memberdayakan masyarakat asli dan komunitas lokal lainnya untuk mengolah hutan secara berkelanjutan dan memperoleh penghasilan dari produk-produk hutan.
Adam Kurniawan masih ingat saat petani, tanpa hak yang pasti mengenai lahannya, biasa menebang pohon, dan memperoleh sepetak kebun baru di hutan. Mereka kemudian menanam tanaman-tanaman yang cepat tumbuh, berharap bisa memanen sebelum ketahuan oleh pengawas hutan.
“Pertanian dilakukan dengan hasil yang cepat dan risiko tinggi,” kata Kurniawan, ketua Balang Institute, yang bekerja dengan masyarakat Bantaeng.
Pada 2010, para petani di Bantaeng diundang untuk belajar bersama mengenai sistem campursari. Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh RECOFTC bersama Universitas Hasanuddin dan institusi lain, petani mulai mengenal cara-cara mengolah lahan secara berkelanjutan. Sebuah riset yang dilakukan pada 2012 dengan foto satelit hutan setempat, ditunjukkan pada petani bagaimana wanatani dapat memperbaiki bentang alam, sekaligus meningkatkan pendapatan.
“Pada tahun-tahun berikutnya, petani terus melakukan pertemuan untuk mempelajari praktik-praktik baru dan berbagi ilmu yang diperoleh selagi mereka menggarap kebun kopi mereka,” lanjut Kurniawan. “Mereka mendiskusikan cara-cara diversifikasi tanaman agar lebih tahan menghadapi ancaman banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi karena perubahan iklim. Masyarakat bersatu untuk menjalankan wanatani merupakan masa depan kami.”
Izin memberikan keamanan
Konflik lahan merupakan masalah utama di Indonesia, termasuk di Bantaeng. Konflik antara negara dan kelompok yang terpinggirkan sering muncul ketika negara ingin menjaga hutan yang telah lama menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Ketika petani tidak memiliki hak yang jelas atas lahannya, negara bisa sewaktu-waktu menutup akses, sehingga mereka menjadi skeptis untuk melakukan praktik pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, mengamankan kepemilikan lahan merupakan kunci keberhasilan yang penting bagi petani.
Tiga desa di Bantaeng sepakat untuk mengajukan izin pengelolaan lahan berdasar kebijakan kehutanan nasional untuk mencegah konflik seperti itu, sekaligus mengurangi kemiskinan dan penggundulan hutan. Pengajuan izin seperti ini merupakan proses yang panjang, membingungkan dan birokratis, terutama bagi masyarakat lokal dengan pengetahuan terbatas mengenai berbagai syarat dan aturan pemerintah. Namun dengan dukungan RECOFTC dan universitas, warga desa mendapatkan izin mereka dalam 6 bulan, menghasilkan izin untuk mengelola lahan hutan hingga 35 tahun ke depan.
“Mereka mendapatkan kepastian kepemilikan lahan hanya dalam waktu enam bulan,” kata Profesor Supratman Suyuti dari Universitas Hasanuddin, Makassar. “Benar-benar sebuah prestasi.”
Ia menyebutkan salah satu penyebabnya adalah dukungan yang kuat dari pemerintah kabupaten, sejalan dengan komitmen, dan kerjasama warga desa.
“Bantaeng menjadi tempat untuk didatangi dan belajar mengenai hutan desa,” lanjut Suyuti, pionir pengelolaan sumber daya alam di kawasan tersebut, dan merupakan partner RECOFTC selama bertahun-tahun. “Kawasan ini menjadi tempat dimana orang bisa memiliki pemahaman yang lebih baik, bagaimana mengelola hutan mereka dan mendapatkan status yang jelas bagi warga setempat.”
Petani-petani di Bantaeng kini mengubah cara mereka berinteraksi dengan 700 hektar lahan tempat mereka bekerja, dan dengan hutan di sekitar mereka.
Pendekatan yang berkelanjutan dan kooperatif
“Setelah mendapatkan izin, mereka mulai memikirkan hutan secara berbeda,” ujar Kurniawan. “Mereka mulai bekerja sama untuk menciptakan cara untuk melindungi lahan. Mereka tidak menebangi pohon lagi dan duduk bersama untuk mendiskusikan rencana pengelolaan terbaik di masa depan.”
Bukti empiris mengenai regenerasi hutan memang belum ada, namun Suyuti mengatakan bahwa kini warga tidak lagi berusaha membuka lahan pertanian baru di hutan.
“Angka kebakaran hutan juga menurun karena masyarakat kini tidak lagi berusaha membuka lahan baru dengan membakar hutan,” jelas Suyuti. “Sistem ini membuat masyarakat tidak mengusik hutan. Ini merupakan indikator yang jelas. Paling tidak sekarang hutan jadi aman.”
Sementara status kepemilikan lahan memberikan keamanan bagi sebagian warga, banyak orang lain masih hanya bisa berharap. Petani di dekat desa Pabumbungan belum mengajukan izin pengelolaan hutan, menyebut perlunya biaya dan dukungan untuk melakukan proses tersebut, termasuk survei. Tetapi mereka memiliki perjanjian dengan pemerintah setempat untuk menanam dan menjual kopi berkelanjutan, dan mereka yakin telah mendapatkan kepercayaan pemerintah bahwa mereka mampu mengelola lahan tersebut.
“Departemen Kehutanan bisa melihat bahwa sekarang hutan menghijau lagi, jadi kami tidak terlalu ditekan oleh pemerintah,” kata Hamsir (22 tahun). Pada 2018, ia mengambil alih kebun orang tuanya untuk menanam kopi dan sayuran di sebidang lahan.
Setelah bergabung dengan Koperasi Akar Tani tahun lalu, Hamsir dengan cepat mempelajari metode-metode baru untuk meningkatkan kualitas kopinya. Termasuk merendam biji kopi untuk melepaskan kulitnya dan mengeringkannya dengan benar. Ia bekerja dengan sejumlah petani lain untuk berbagi informasi dan memastikan terus melakukan upaya pelestarian hutan. Hamsir sukses mengembangkan pertanian kopinya dari 100 jadi 700 pohon dan sangat bersemangat untuk menanam lebih banyak lagi.
“Kami ingin tahu pasar mana yang bisa kami tembus untuk mendapatkan harga yang bagus buat kopi kami,” kata Hamsir. “Kami tergantung pada Akar Tani untuk hal ini.”
Sangrai yang berbuah keberhasilan
Di sebuah gudang penyimpanan biji kopi di dekat kota Tompobulu, pekerja Akar Tani telah belajar bagaimana menguasai mesin roasting (sangrai).
“Awalnya ada uji coba dan terjadi kesalahan, terutama soal waktu dan temperatur yang pas,” ujar Hasri, Ketua Akar Tani.
”Tapi setelah beberapa pelatihan, mereka sudah terampil,” lanjutnya sambil menyebut bahwa para anggota telah menjalani pelatihan selama 12 bulan. “Pembeli meminta biji kopi yang disangrai medium dan juga tipe lain, kami sudah memiliki kemampuan untuk memenuhinya.”
Sejak didirikan pada 2016, koperasi ini berhasil mendapatkan harga yang lebih tinggi bagi petani-petani anggotanya. Pelatihan dan informasi juga mengalir sehingga penanam kopi dapat meningkatkan kualitas kopinya. Secara kolektif, melalui Akar Tani, petani memiliki posisi tawar yang lebih baik untuk mendapatkan harga yang tinggi, daripada menjual secara perorangan lewat penyalur atau calo yang menawarkan harga lebih murah. Petani juga mendapatkan akses pada mesin kupas dan roaster yang lebih baru.
“Menjual biji kopi yang sudah disangrai lebih menguntungkan, meskipun ada biaya tambahan untuk roasting dan kemasan,” kata Hasri. Satu kilo biji kopi yang telah disangrai bisa dijual dengan harga mulai Rp.165.000,-. Harga ini lebih tinggi dari dua kali lipat harga biji kopi mentah yang hanya Rp.75.000,- per kilogram.
Memetakan tantangan
Dengan dukungan tanpa henti dari RECOFTC, Akar Tani juga mendapatkan akses modal, termasuk pinjaman pemerintah untuk membantu mendirikan badan usaha. Anggota koperasi mendapatkan keterampilan manajemen usaha dan risiko yang membantu mereka memetakan langkah-langkah awalnya, dan belajar cara menggunakan perangkat perencanaan keuangan. Koperasi bahkan menyelenggarakan kunjungan pembelajaran ke sebuah koperasi kopi yang sukses di Jawa sehingga anggota Akar Tani bisa mempelajari praktik-praktik pertanian dan bisnis yang baik.
“RECOFTC telah membantu kami untuk mendapatkan dukungan lembaga-lembaga pemerintah,” ujar Hasri. “Mereka menyediakan pelatihan, seperti bagaimana melakukan perhitungan risiko, dan bagaimana memenuhi peraturan-peraturan pemerintah.”
Meskipun meraih sukses secara kolektif, tantangan tetap ada. Sebelum pandemi COVID-19, Koperasi Akar Tani fokus pada peningkatan kuantitas kopi dari petani untuk memenuhi tuntutan volume di pasar yang lebih besar, seperti ibukota provinsi, Makassar. Kemudian Koperasi Akar Tani mulai berfokus pada kualitas. Namun ketika terjadi pandemi, permintaan biji kopi menurun karena toko-toko dan bisnis lain tutup, membuat harga kopi jadi merosot. Koperasi Akar Tani dipaksa untuk memangkas, hampir separuh, harga biji kopi yang dibayarkan pada petani. Bila pandemi mereda, Hasri berharap permintaan akan meningkat lagi dan ia bisa melanjutkan mengembangkan usahanya.
Bagi petani seperti Marni, COVID-19 juga membuat hidupnya berat. Namun ia bertekad untuk mendapatkan lagi keberhasilannya dan terus menyuplai biji kopi, kadang dengan metode-metode kuno. Akar Tani saat ini membeli lebih sedikit, tetapi Marni menemukan pembeli lain, bahkan warung kopi bersedia membeli langsung pada Marni. Ia mencuci dan mengeringkan biji kopinya menggunakan mesin sederhana di kebunnya. Marni bahkan mencoba memanggang sendiri kopinya di dapur rumahnya.
Mendukung usaha lokal
Di sebuah warung kopi kelas atas di Makassar, pelanggan mulai berdatangan kembali untuk menikmati kopi dan nongkrong, di tengah masa pandemi. Andimal, pemilik Beans Coffee Shop, merupakan salah satu barista pelanggan kopi dari Koperasi Akar Tani yang mulai membuka kembali pintunya.
“Pelanggan-pelanggan saya adalah pecinta kopi,” katanya. “Mereka benar-benar tahu seperti apa rasa kopi yang bagus dan mereka selalu tanya, ‘kamu dapat biji kopi dari mana?’.”
Andimal yakin dengan cita rasanya yang kuat dan khas, di masa depan kopi dari Koperasi Akar Tani bisa bersaing dengan merek lain yang lebih mapan di kawasan yang kaya dengan sejarah perkebunan kopi tersebut. Kelompok ini hanya memerlukan kampanye marketing yang kuat dan suplai biji kopi berkualitas tinggi yang konsisten dan stabil dari petaninya, imbuhnya lagi.
“Saya akan terus mendukung mereka,” lanjut Andimal. “Saya berasal dari pulau ini. Saya ingin orang tahu bahwa kopi dari kampung halaman saya itu sebagus kopi dari Jawa dan Sumatra.”
Di kota tetangga, Jeneponto, Ika O. Turatea memberikan dukungan serupa. Ia mengelola sebuah galeri untuk mendukung seniman lokal yang berkumpul untuk membuat dan menjual kerajinan tangan. Saat Koperasi Akar Tani mendekatinya delapan bulan lalu dengan paket kopi lokal untuk dijual di kafe di galerinya, ia tidak ragu.
“Kualitas kopinya bagus,” kata Turatea. Kafenya menarik pelanggan-pelanggan muda, namun jumlahnya menurun selama pandemi. “Saya tertarik pada idenya karena kelompok tersebut mendukung petani lokal. Ini visi yang sama dengan galeri. Kami berusaha untuk memberdayakan seniman-seniman lokal.”
###
RECOFTC bekerja berkat dukungan Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) dan Swedish International Development Cooperation Agency (Sida).