Terjebak di kantor yang jauh dari hutan, Vong Sopanha sempat frustrasi. Berbakat, ambisius, dan salah satu wanita pertama di Kamboja yang memiliki gelar ilmu kehutanan, Sopanha sangat ingin membuat perbedaan.
Namun perang saudara Kamboja masih berlangsung pada awal 1990-an, dan hanya pejabat kehutanan laki-laki yang diizinkan masuk ke hutan untuk bekerja dengan masyarakat setempat.
“Saya menyukai alam dan ingin bekerja di luar rumah di mana saya bisa bertemu orang yang berbeda dan belajar dari mereka,” kata Vong tentang keinginannya untuk bekerja di bidang kehutanan. “Tetapi saat itu, masih ada pertempuran yang terjadi, dan menurut mereka hal itu terlalu berbahaya dengan banyaknya ranjau yang ada.”
Ketika ada kesempatan tahun 1993 untuk berpartisipasi dalam kursus di negara tetangga Thailand, Vong memanfaatkannya.
Kursus ini, yang diadakan oleh RECOFTC, mengajarkan hutan kemasyarakatan, sebuah konsep yang relatif baru di wilayah tersebut. RECOFTC, sebuah organisasi nirlaba internasional, membantu negara dan masyarakat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim melalui penguatan perhutanan sosial. Dalam lokakarya dan seminar RECOFTC, pejabat dari seluruh Asia Tenggara belajar untuk memberdayakan masyarakat lokal yang sering terlupakan dalam mengelola dan melestarikan hutan serta lahan basah tempat mereka bertahan hidup dan berkembang.
“Di Kamboja, hutan ada di mana-mana, di setiap provinsi. Ini adalah kesempatan saya untuk pergi ke pelosok negeri, bertemu masyarakat, berbicara dengan mereka, membantu mereka, dan mengatakan 'Saya datang dari pihak pemerintah dan saya ingin tahu apa yang Anda butuhkan’.”
Kursus empat bulan itu berat bagi Sopanha, yang baru saja mulai belajar bahasa Inggris. Tetapi tekad, kerja keras, dan bantuan dari teman sekelas Malaysia, yang fasih berbahasa Inggris, membuahkan hasil. Dia mendapatkan pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat untuk tidak hanya melestarikan hutan tetapi juga menghasilkan pendapatan dari hutan secara berkelanjutan untuk meningkatkan mata pencaharian mereka.
“Saya ingat seorang dosen dari Amerika Serikat,” katanya. “Beliau mengajarkan kepada kami tentang bisnis kehutanan masyarakat, kebutuhan untuk memahami pasar, dan berinvestasi sambil meningkatkan mata pencaharian. Pelajaran ini selalu saya ingat."
Perempuan Bagian dari Solusi
Vong dan teman-teman sekelasnya adalah sebagian lulusan angkatan pertama dari beberapa kursus yang telah diselenggarakan RECOFTC, selama lebih dari tiga dekade. Kursus-kursus ini menggabungkan teori, analisis masalah di tingkat regional, dan kunjungan lapangan untuk mengumpulkan perspektif lokal. Dengan pembaharuan secara terus-menerus, kursus-kursus RECOFTC memperkuat kapasitas para pejabat pemerintahan di saat hutan di kawasan itu berada di bawah tekanan besar dari pertumbuhan populasi, perkembangan yang cepat, dan perubahan iklim.
Hampir 30 tahun kemudian, Vong sekarang adalah wanita paling senior di Kepengurusan Kehutanan Kamboja. Sebagai wakil direktur jenderal, beliau terus bekerja membangun hutan kemasyarakatan di negaranya, terutama mendorong lebih banyak perempuan untuk terlibat dalam manajemen lokal.
Perempuan sering mengumpulkan makanan dari hutan untuk kebutuhan rumah tangga mereka yang kemudian dijual, di antara banyak tugas lainnya. Laki-laki melakukan lebih banyak kegiatan fisik seperti patroli dan memanen pohon untuk pembangunan rumah. Tetapi keterampilan dan pengetahuan unik perempuan, termasuk pengetahuan yang mendalam tentang keanekaragaman hayati, sering diabaikan, membuat mereka sering dikesampingkan dari perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan.
Lokakarya dan pelatihan untuk membangun kepercayaan diri dan ketrampilan perempuan dalam pengelolaan hutan adalah penting tetapi juga mengakui ketidaksetaraan gender dan memahami peran penting yang dapat dilakukan oleh perempuan, kata Vong
“Para pemimpin pria membuat keputusan tentang masyarakat setempat. Mereka perlu memahami manfaat dari melibatkan perempuan ke dalam rencana mereka karena perempuan adalah salah satu aspek penting dalam pemanfaatan hutan.”
“Saya katakan kepada mereka ‘jika Anda melihat daftar kegiatan yang perlu dilakukan, ada begitu banyak yang dapat dilakukan oleh perempuan,'”kata Vong, yang sedang mengembangkan strategi gender nasional, dengan bantuan dari tim RECOFTC di Kamboja. "Ini bukan hanya tentang perlindungan atau menindak pembalakan liar.”
Banyak alumni awal dari tahun 1990-an, seperti Vong, pulang dari pelatihan RECOFTC dengan ambisi untuk mendorong maju kehutanan masyarakat. Mereka melihat perhutanan sosial sebagai solusi untuk melindungi hutan dan membantu masyarakat mengatasi kemiskinan.
Alumni RECOFTC mentransfer pengetahuan baru mereka kepada rekan-rekannya, mengembangkan jaringan, dan membuat proyek percontohan dengan masyarakat setempat. Yang lain membangun unit formal dan informal di dalam kementerian mereka untuk mengubah kebijakan menuju pengelolaan hutan kolaboratif dan jauh dari kendali tunggal negara.
Lebih dari 60.000 pejabat pemerintahan dan petugas/penggerak kehutanan lainnya telah mengikuti kursus RECOFTC. Mereka telah memberi pengaruh dalam undang-undang dan reformasi di negaranya untuk meningkatkan penguasaan hutan dan kepastian mata pencaharian masyarakat setempat. Dengan 5,3 juta orang sekarang berpartisipasi dalam hutan kemasyarakatan di lebih dari 15 juta hektar di seluruh wilayah, pelatihan RECOFTC lebih relevan dari sebelumnya.
Aturan dan Regulasi yang Kuat
Alumni lainnya, Lao Sethaphal, mengatakan perubahan kebijakan pada masa-masa awal, berarti penyebaran berita tentang manfaat dari konsep yang masih sedikit diketahui, tidak hanya untuk petugas senior yang terkadang skeptis, tetapi juga masyarakat.
Hutan Kamboja rusak parah tahun 1990-an akibat proses produksi perusahaan kayu dan pembalakan liar, sehingga pemerintah membutuhkan solusi yang tepat. Lao, seorang pejabat muda yang telah menyelesaikan beberapa kursus di RECOFTC, dan timnya, diberi lampu hijau oleh pemerintah untuk mengembangkan aturan dan peraturan dalam kerangka hukum tentang bagaimana kehutanan masyarakat akan bekerja.
“Saya pikir ini kesempatan yang bagus untuk masyarakat,” katanya. “Mereka bisa mendapatkan hak mengelola dan menggunakan hutannya. Mereka dapat membuat keputusan bersama tentang bagaimana melindungi hutan dan bagaimana menggunakannya.”
Pemerintah Kamboja mengadakan konsultasi dengan masyarakat, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengembangkan kebijakan nasional. Pemerintah Kamboja meninjau temuan dan pada tahun 2003 mengeluarkan sub-dekrit mengakui hutan kemasyarakatan sebagai kebijakan nasional, menyusul perubahan dalam undang-undang kehutanan. Tiga tahun kemudian, Pemerintah Kamboja memperkenalkan pedoman untuk mengidentifikasi, melegalkan dan mengelola hutan oleh masyarakat.
“Ada begitu banyak konsultasi dengan semua orang. Mereka memberi tahu kami: 'kami menginginkan ini, kami ingin mengubahnya'. Kami mencoba memasukkan semua ini. Butuh bertahun-tahun.”
Lao kemudian mulai melatih penduduk desa yang tinggal di dekat hutan. Saat ini, beberapa ratus komunitas memiliki perjanjian formal dengan pemerintah untuk mengelola kawasan hutan tempat mereka dapat mengambil manfaat dan memperkuat mata pencaharian mereka.
Lao, yang saat ini menjabat sebagai wakil direktur jenderal di Administrasi Kehutanan Kamboja, dan telah pindah ke penegakan hukum. Dia bekerja erat dengan masyarakat untuk menghentikan pembalakan liar yang masih menjadi masalah utama di Kamboja. Di sini juga, katanya, keterampilan RECOFTC-nya telah terbukti sangat berharga.
“Sekarang saya pergi ke desa untuk melakukan kursus pelatihan tentang penegakan hukum, bukan kehutanan masyarakat. Tapi saya selalu memikirkan pelatihan RECOFTC saya; bagaimana melibatkan orang, pentingnya partisipasi dan kerja sama; bagaimana membangun hubungan dengan masyarakat.”
“Saya belajar dari RECOFTC pentingnya memahami masyarakat lokal dan cara melakukannya.”
Penelitian sebagai Kunci Kesuksesan
Bagi Kim Sarin, seorang pejabat senior di kementerian lingkungan hidup Kamboja, kursus RECOFTC menanamkan pentingnya penelitian sebagai agen perubahan. Selama bertahun-tahun, Kim mengembangkan keterampilan lain dari kursus RECOFTC yang memungkinkannya menilai berbagai kebutuhan masyarakat yang bergantung pada hutan dan menggunakan indikator yang sesuai untuk mengukur keberhasilan intervensi untuk membantu mereka.
“Saya benar-benar percaya pada penelitian karena untuk meyakinkan orang, Anda perlu memiliki bukti,” kata Kim, yang bekerja sama dengan penduduk desa untuk membantu meningkatkan pendapatan mereka. “Penelitian adalah tanda atau bukti yang Anda butuhkan, apakah Anda berbicara dengan masyarakat atau pembuat keputusan, pemerintah. Saya masih ingat pelatihan penting ini.”
Setelah mengikuti kursus RECOFTC pada akhir 1990-an, Kim mulai bekerja dengan desa-desa di provinsi Kampot selatan, di mana kawasan hutan menjadi sangat terdegradasi dari praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, sehingga erosi tanah merusak sawah di sekitarnya. Masyarakat mulai bekerja dengan perwakilan pemerintah untuk mengembangkan rencana untuk melindungi dan menumbuhkan kembali hutan di dekat desa mereka untuk mengurangi erosi dan meningkatkan hasil panen.
Sebagai hasil dari kegiatan konservasi, masyarakat dapat mengumpulkan rebung dan produk lainnya dari dalam hutan yang dipulihkan, termasuk kayu bakar, untuk meningkatkan pendapatan mereka. Proyek ini sangat sukses sehingga pada tahun 2009 penduduk desa memenangkan penghargaan di ibukota negara.
“Mereka berbagi pengalaman dengan petani dan komunitas lain, dan pejabat teknis,” katanya. “Proyek ini bekerja untuk mengubah pikiran orang. Mereka bisa melihat manfaat dari memperkenankan komunitas melindungi bentang alam mereka.”
Namun, tidak semua proyek berhasil, hanya beberapa, meskipun ada kemajuan di Kamboja, tata kelola yang lemah dapat merusaknya, sementara kurangnya keterampilan tentang cara mengelola hutan pada masyarakat terkadang menjadi menghambat.
"Partisipasi masyarakat adalah jalur perbaikan perhutanan," Kim Sarin.
Pelatihan sangatlah penting, sama seperti peningkatan jejaring di antara masyarakat dan pejabat untuk berbagi informasi dan pengetahuan dan berkolaborasi, kata Kim. Dia optimis tantangan saat ini dapat diatasi dan bahwa partisipasi masyarakat adalah “jalan ke depan untuk kehutanan.”
Dia mengeluarkan ponselnya dengan foto-foto orang asing yang tersenyum pada kegiatan ekowisata yang diselenggarakan oleh penduduk setempat di provinsi Kampong Speu. Dia mulai memberikan dukungan kepada penduduk desa di perusahaan pada tahun 1998, awalnya dengan studi kelayakan. Selama bertahun-tahun, keenam desa telah bekerja bersama untuk membangun usaha, menyepakati berapa banyak pendapatan yang harus dialokasikan untuk setiap rumah tangga, dan berapa banyak untuk konservasi dan untuk patroli di hutan.
“Terkadang ada konflik di antara penduduk desa tentang masalah uang. Ada juga masalah lainnya seperti perambahan di lahan. Tetapi kami terus bekerja dengan mereka, belajar sambil melakukannya, memfasilitasi pertemuan, sehingga kami dapat menemukan solusi.”
Menghadapi Tantangan
Konflik hutan merupakan tantangan yang terus-menerus terjadi di Asia Tenggara, di mana sistem pengelolaan hutan negara, seperti konservasi taman nasional, dan konsesi untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan, dan pertambangan, sering kali mengesampingkan kepentingan masyarakat.
Kursus RECOFTC membantu para pejabat mengurangi sengketa dengan menyediakan alat dan strategi untuk mempromosikan diskusi dan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan. Ricky Alisky Martin, salah satu pejabat kehutanan Malaysia pertama yang lulus dari kursus pertama RECOFTC tentang kehutanan masyarakat pada tahun 1988, mengatakan ia dengan cepat menyadari bahwa manajemen partisipatif sering kali merupakan kunci untuk mengurangi konflik.
Selama bertahun-tahun, ia dan petugas kehutanan lainnya telah mengembangkan banyak inisiatif yang partisipatif untuk menyelesaikan konflik di negara bagian Sabah di mana masyarakat adat dan masyarakat lainnya bergantung pada hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Setelah kembali dari pelatihannya di Bangkok, Martin, yang saat itu adalah seorang pejabat junior, memegang peran utama dalam pemulihan daerah aliran sungai yang penting di Cagar Hutan Kelawat yang telah ditebang dan dibakar oleh sekelompok penduduk desa dari kabupaten tetangga untuk pertanian. Dia berpartisipasi dalam pertemuan desa di mana akhirnya tercapai kesepakatan antara penduduk desa dan pemerintah, untuk zona sekitar 200 hektar hutan menjadi kawasan konservasi yang terpisah, agroforestri dan perumahan, dengan penduduk desa bersama-sama mengelola zona tersebut.
“Saya belum pernah mendengar tentang pengelolaan hutan bersama sebelum saya pergi ke RECOFTC,” kata Martin tentang proyek tersebut. Dengan rencana pengelolaan hutan bersama, masyarakat menanam karet, kayu, dan pohon buah-buahan untuk menstabilkan tanah, meningkatkan daerah aliran sungai, dan memperkuat mata pencaharian mereka. Di zona konservasi, mereka diminta untuk melindungi hutan tetapi diizinkan untuk menebang bambu untuk keperluan rumah tangga.
“Sebelumnya tidak ada kupu-kupu, tidak ada belalang, tidak ada babi hutan, tetapi dalam waktu kurang dari satu dekade, hewan-hewan telah kembali ke daerah itu.”
Martin ingat pernah membentuk komite kehutanan masyarakat Sabah yang pertama pada tahun 2000. Komite bertemu beberapa kali setahun untuk menyelesaikan konflik antara penduduk desa dan pejabat kehutanan di Cagar Hutan Deramakot. Di satu daerah yang dilanda konflik, para pemimpin desa setuju untuk membantu mengelola dan melindungi hutan terdekat, sementara pejabat kehutanan Deramakot setuju untuk menyalurkan air dari aliran hutan ke rumah mereka, memberikan pelatihan tentang keselamatan kebakaran hutan, membayar penduduk desa untuk menanam dan memelihara pohon, serta inisiatif perhutanan sosial lainnya.
“Dari RECOFTC, saya belajar bahwa komunikasi yang baik harus ada di antara semua pihak," katanya.
Hutan kemasyarakatan, yang dikenal sebagai perhutanan sosial di Malaysia, telah menguat, dan sekarang menjadi strategi nasional dengan rencana aksi 10 tahun yang dikembangkan baru-baru ini. Martin, sekarang kepala Seksi Kehutanan Sosial dalam Divisi Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Departemen Kehutanan Sabah, mengatakan konflik masih merupakan tantangan besar, terutama di antara penduduk desa, pemilik perkebunan, dan pihak berwenang. Namun dia percaya ada pemahaman yang lebih kuat tentang bagaimana kehutanan sosial bisa menjadi solusi.
"Kami membutuhkan perhutanan sosial di Sabah sebagai penstabil atau pengharmonisasi untuk konflik sosial yang kami miliki."
Ricky Alisky Martin
“Masih banyak petani miskin di negara bagian Sabah," kata Martin. “Populasi mereka meningkat, tetapi tanah negara yang tersedia untuk pertanian berkurang. Tekanan pada cadangan hutan karenanya meningkat. Pada saat yang sama, ada penegakan kuat dari undang-undang negara tentang perambahan hutan, yang menciptakan berbagai konflik masyarakat.”
“Kami membutuhkan perhutanan sosial di Sabah sebagai penstabil atau pengharmonisasi untuk konflik sosial yang kami miliki.”
Laos adalah negara anggota ASEAN lainnya yang baru-baru ini memperkuat hutan kemasyarakatan setelah bertahun-tahun melakukan kegiatan persiapan. Hutan-hutan di Laos telah menyusut secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir dari penebangan dan pembukaan lahan untuk pertanian. Pemerintah mengubah undang-undang pada tahun 2019 untuk membuat sektor kehutanan lebih berkelanjutan secara finansial dan lingkungan, termasuk dengan meningkatkan pengelolaan desa atas kawasan hutan.
Bounpone Sengthong, yang telah berpartisipasi dalam banyak kursus RECOFTC, sekarang menjadi wakil direktur jenderal Departemen Kehutanan di Kementerian Pertanian dan Kehutanan. Ia mengatakan, lebih dari 1000 desa telah menyerahkan rencana pengelolaan kepada pemerintah. Rencana-rencana ini menunjukkan bagaimana desa akan menggunakan hutan secara berkelanjutan, untuk bertani jati, misalnya.
“Bagaimana kita membuat perencanaan ini terlaksana, itulah kuncinya,” kata Sengthong, menambahkan bahwa dukungan dari pejabat kehutanan untuk masyarakat, termasuk pelatihan keterampilan adalah kunci keberhasilan."
Persiapan Masa Depan
Di Thailand, dosen universitas Surin Onprom juga berfokus pada masa depan. Hutan dan masyarakat di Asia Tenggara menghadapi tantangan baru dari perubahan iklim, bersama dengan masalah deforestasi dan ketidaksetaraan yang telah berlangsung lama. Onprom mengatakan sangat penting untuk membekali siswa dengan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan ini.
“Siswa adalah pembuat kebijakan masa depan,” kata Onprom, yang mengajar manajemen hutan di Universitas Kasetsart di Bangkok. "Jika kita ingin mengubah banyak hal di masa depan, kita harus mulai dengan generasi saat ini.”
Onprom telah bekerja di hutan kemasyarakatan selama lebih dari 20 tahun. Untuk melindungi masa depan masyarakat, ia menunjukkan perlunya kemajuan di Thailand pada hak tenurial untuk masyarakat, termasuk pengakuan yang lebih formal atas hak tanah adat.
Thailand baru-baru ini mensahkan undang-undang kehutanan masyarakat, pertama kali dirancang lebih dari 30 tahun yang lalu. Undang-undang ini memberikan masyarakat lebih banyak hak untuk bersuara dalam mengelola sumber daya alam. Onprom mengatakan undang-undang tersebut tidak cukup memperkuat hak atas tanah, terutama bagi kelompok etnis yang rentan kondisinya dan telah hidup turun-temurun di taman nasional atau lahan lainnya yang dikuasai oleh negara.
Onprom memulai karirnya sebagai asisten peneliti lapangan di RECOFTC. Somsak Sukwong, pendiri RECOFTC, mengirimnya ke Thailand utara untuk belajar langsung bagaimana masyarakat bergantung pada hutan dengan cara yang berbeda.
Sembilan tahun di RECOFTC membangun keyakinan bahwa tantangan yang ada perlu ditangani dengan cara yang berbeda, termasuk dengan belajar dari masyarakat setempat, karena setiap masyarakat dan hutan memiliki keunikan tersendiri.
Hari ini di Universitas Kasetsart, Onprom secara teratur memanfaatkan kerja lapangan RECOFTC dan studi kasus yang dilakukan di seluruh Thailand dan wilayah regional untuk menunjukkan kepada para siswa harapan yang berbeda di antara anggota dari kelompok etnis yang sama. Orang Karen misalnya memiliki praktik hutan yang berbeda di daerah bukit utara Thailand dibanding dengan orang Karen yang tinggal di dataran rendah sebelah barat.
“Jika kita memiliki komunitas yang beragam, siswa perlu menyadari berbagai solusi yang mungkin diperlukan. Tidak hanya ada satu cara. Salah satu masalah utama di Thailand adalah orang berpikir satu solusi adalah yang terbaik, tetapi keragaman adalah isu utama.”
Onprom memiliki aspirasi besar untuk murid-muridnya. Sebagai anggota kelompok kehutanan universitas, mereka baru-baru ini menjadi yang pertama di Thailand yang bergabung dengan organisasi kehutanan global.
Para siswa bekerja keras untuk menjadi anggota Ikatan Pelajar Kehutanan Internasional (IFSA), yang menerima pendatang baru hanya setelah proses pemeriksaan dan evaluasi yang ketat. Menjelang memperoleh keanggotaan, mereka mengambil bagian dalam acara kolaborasi yang diselenggarakan oleh RECOFTC yang mencakup IFSA, yang berupaya menghubungkan siswa dari seluruh dunia melalui jaringan kemitraannya.
“Ini adalah kesempatan besar bagi mereka untuk membuka pengetahuan dan perspektif mereka," kata Onprom.
Onprom mengatakan dia juga memiliki harapan besar bagi generasi muda yang terus hidup di hutan. Dia baru-baru ini terinspirasi oleh sebuah kelompok di daerah Chiang Mai yang telah mengembangkan bank benih varietas tanaman lokal yang ditanam oleh petani tradisional di hutan.
Onprom mengatakan dia ingin mencurahkan waktu untuk membantu masyarakat mengembangkan inisiatif ini, mungkin mengubah bank benih menjadi perusahaan yang menguntungkan yang dapat melestarikan keanekaragaman hayati lokal dan mempertahankan pengetahuan dan adat istiadat masyarakat.
“Saya ingin membantu meningkatkan mata pencaharian mereka dan menemukan jalan baru ke depan. Mereka membutuhkan dukungan moral dan lainnya. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan.”
###
Kegiatan-kegiatan RECOFTC dapat terselenggara atas dukungan Badan Pengembangan dan Kerjasama Swiss (SDC) dan Badan Kerjasama Pengembangan Internasional Swedia (SIDA)