RECOFTC Indonesia
Cerita

Indonesia dapat mencapai target Perhutanan Sosial dengan Partisipasi dari Pelaku Sub-Nasional

02 March 2017
Yosef Arihadi
Practitioner's Insights
icp

Pemerintah Indonesia melangkah menjauh dari pencapaian target Kehutanan Masyarakat, berdasarkan sebuah artikel di mongabay.com yang menyoroti tentang pemotongan anggaran Kehutanan Masyarakat di tahun 2017 sampai hampir separuhnya dari anggaran tahun 2015. Koordinator RECOFTC Program Indonesia, Yosef Arihadi, menawarkan perspektif yang berbeda, berargumen bahwa selama masyarakat berada di pusat pembangunan, masihlah ada harapan. 

Dua tahun (2014-2016) telah berlalu sejak pembentukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selama dua tahun itu pula telah ada pembekuan perluasan apa pun di kawasan Perhutanan Sosial. Selama waktu ini, kementerian bermaksud untuk mengarusutamakan birokrasi kehutanan dan menyederhanakan kebijakan dan prosedur untuk pemberian izin Perhutanan Sosial yang lebih efisien. 

Pemotongan anggaran pemerintah pusat untuk Perhutanan Sosial menjadi separuh dibanding tahun 2015 terlihat kontra produktif terhadap pencapaian target Perhutanan Sosial yaitu 12,7 juta hektar di tahun 2020. Namun, masih ada peluang besar untuk Presiden Indonesia yang juga rimbawan untuk mencapai target Perhutanan Sosial. 
Implementasi target nasional beralih ke level pemerintah daerah, dimana otonomi terletak dan anggaran lebih dari provinsi harus dialokasikan untuk mendukung dan mencaai target tiap provinsi. Begitu juga donor, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil dapat menjadi lebih efektif bekerja dengan pemerintah di level sub-nasional, dan mengembangkan lebih percontohan dengan masyarakat di hutan, dan membagi serta belajar dengan kelompok kerja kehutanan untuk meningkatkan pencapaian target Perhutanan Sosial. 

Selama berdekade pengambilan keputusan dari atas ke bawah (top-down) di sektor kehutanan, dari tingkat pusat hingga berakhir di tingkat petani hutan, semakin jelas sekarang bahwa Perhutanan Sosial bukanlah tentang hutan tapi tentang orang dan nafkah hidupnya, kebutuhan sosial dan budaya, dan seterusnya. Program kehutanan harus memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang dimiliki oleh masyarakat lokal and dengan finansial untuk dan dari sumber lokal di tingkat desa, kabupaten, dan provinsi. Pengambilan keputusan harus melibatkan partisipasi dari tingkat provinsi dan di bawahnya, dengan masyarakat sebagai pusat pembangunan. 
Pada tanggal 30 Desember 2016, Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan legalisasi 9 hutan adat di Provinsi Jambi, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat seluas 13.100 hektar. Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara juga membuat perkembangan yang baik menuju pengakuan inisiatif hutan adat yang dikembangkan di kabupaten dan provinsi. Sebagai contoh, langkah pertama memetakan hutan adat seluas 8,1 juta hektar (dari total 12,7 juta hektar alokasi Perhutanan Sosial di bawah pemerintahan Jokowi) telah dicapai. 

Pengesahan 9 hutan adat adalah sebuah hasil proses perencanaan dari masyarakat dan pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi. Proses ini juga termasuk serangkaian diskusi yang menghasilkan draf dan kebijakan yang disepakati untuk Peraturan Gubernur atau Peraturan Provinsi untuk pengakuan hutan adat. Proses dari bawah ke atas (bottom-up) muncul dari dari tingkat masyarakat ini dapat terjadi setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi. 

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, masih perlu jalan untuk menjadi lebih efektiff. Pada waktu yang sama, perubahan kebijakan lain juga terjadi antara tahun 2012 ke 2016 terkait desentrasi dan pemerintahan lokal. Undang-Undang Desentralisasi Nomor 32 Tahun 2004 telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengubah lokus pengambilan keputusan dari tingkat kabupaten ke provinsi. Legalisasi hutan adat di bawah peraturan baru ini berada di tangan gubernur melalui Peraturan Provinsi atau Peraturan Gubernur. 

Dari tahun 2012 sampai 2016, setelah MK 35, tidak ada satupun legalisasi hutan adat yang dilakukan untuk masyarakat adat. Transformasi Kementerterian Kehutanan menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup selamat tahun 2014-2016 menyebabkan hambatan sementara dalam perkembangan model Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat).  Dengan peraturan desentralisasi yang baru, masih banyak kerja yang perlu dilakukan untuk secara efektif melegalkan penguasaan adat di hutan. Tekanan untuk presiden Jokowi harus berlanjut untuk memastikan pelaksanaan efektif kebijakan pusat untuk mencapi target 12,7 juta hektar Perhutanan Sosial melalui aksi dan alokasi sumberdaya yang cukup dari pemerintah provinsi. Inisiatif dari CSO sangat penting untuk memetakan dan mendokumentasikan hutan adat, dan pada waktu yang sama mendampingi parlemen provinsi untuk menyusun draf peraturan daerah. 

Kita tahu bahwa Perhutanan Sosial tidak dapat dicapai secara instan, tapi ada harapan besar bahwa kita akan mencapai target Perhutanan Sosial Indonesia selama kita melanjutkan untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan tentang hutan mengikutsertakan partisipasi dari tingkat provinsi dan di bawahnya, dengan masyarakat yang selalu menjadi pusat pembangunan. 

 

Pelajari lebih lanjut mengenai kerja RECOFTC di Indonesia.  
Engagment Strategy - RECOFTC Indonesia 
Laman Facebook - RECOFTC Indonesia