Kebakaran Hutan, Partisipasi Publik, dan Peran Media: Kombinasi Jurnalisme Warga dan Keilmuan Warga
Kebakaran hutan dan lahan sering menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa setiap tahun terus saja terjadi karhutla di berbagai tempat di seluruh Indonesia? Apakah tidak bisa diantisipasi sebelum karhutla terlanjur terjadi? Siapa yang harus bertanggung jawab jika karhutla terjadi? Siapa yang bertanggung jawab mencegah dan mengantisipasi supaya karhutla tidak terjadi?
Jawaban dari pertanyaan “siapa yang bertanggung jawab”- secara tidak langsung semua tanggung jawab dan kesalahan dilemparkan ke pemerintah, termasuk negara tetangga penerima asap meminta tanggung jawab pemerintah Indonesia. Setelah sekian jawaban dan argumen, ujungnya menyalahkan musim atau iklim sebagai kambing hitam, dan juga masyarakat – terutama masyarakat adat yang sudah turun-temurun menggunakan api untuk berladang. Beberapa perusahaan perkebunan pun ada yang diperkarakan berkaitan dengan kebakaran hutan[1] [2]
Lalu dimana letak posisi masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan? Bagaimana harusnya partisipasi masyarakat atau partisipasi publik yang bisa membantu mencegah terjadinya karhutla? Apakah dalam praktiknya “partisipasi masyarakat” sungguh-sungguh bisa mencegah dan mengatasi karhutla?
Kuasa Warga (Citizen Power)
Menurut S.R. Arnstein (1969), partisipasi warga adalah kuasa warga (citizen power). Ada 3 tingkatan citizen power atau derajat kekuatan/kekuasaan warga dari delapan anak tangga partisipasi warga yaitu kemitraan (partnership), pendelegasian kuasa (delegated power), dan kendali warga (citizen control).
Kuasa atau kekuatan warga atau citizen power adalah pendistribusian kuasa/kekuatan yang memungkinkan warga – yang biasanya tersingkirkan dari proses politik dan ekonomi – dengan sengaja dilibatkan di masa depan. Kuasa warga bisa membuat warga yang tersingkirkan dapat mempengaruhi reformasi sosial atau kebijakan yang membuat mereka bisa mendapatkan manfaat.
Sudah banyak penelitian atau uraian atau diskusi dan bahasan mengenai partisipasi warga kaitannya dengan persoalan kehutanan, termasuk dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Kebanyakan pembahasan partisipasi warga dilihat dari sudut pandang pemilik kuasa. Sering pemilik kuasa itu adalah pengambil kebijakan (pemerintah) atau perusahaan. Pembahasan tidak sampai pada tingkatan pendelegasian kuasa maupun kendali warga.
Bagaimana warga bisa mendapatkan kekuatan atau kuasa atau power? Jawabannya: mengakses power atau kekuatan dari media massa.
Timanggong Adrianus Adam Tekot[3] dan anggota komunitas masyarakat adat Kanayatn Binua Sungai Manur adalah salah satu contoh penggunaan power melalui media massa. Melalui pendekatan tiga piranti kekuatan (tools of power) yaitu agenda setting, framing dan priming (Entman, 2007), komunitas adat menetapkan agenda (agenda setting) dalam menuntut hak atas lahan adat yang telah berubah menjadi perkebunan sawit, mendapatkan akses ke RuaiTV, RuaiTV membingkai informasi dari komunitas adat (framing), dan mengirimkan informasi berupa SMS ke sejumlah pejabat di Kalimantan Barat (priming), hingga akhirnya tuntutan mereka terpenuhi di tahun 2011.
Bukti penjabaran di atas menunjukkan Adrianus dan anggota komunitas masyarakat adat Kanayatn Binua Sungai Manur berhasil memaksa pihak memenuhi tuntutannya melalui kekuatan dari media massa. Tentu saja, Adrianus dan anggota komunitas adat ini mendapatkan pelatihan jurnalisme warga sebelum dapat mengirimkan SMS kepada RuaiTV. Pelatihan ini diperlukan agar masyarakat mampu mengartikulasi dan menetapkan agenda tuntutan mereka berdasarkan fakta.
TempoWitness
RECOFTC bersama dengan Tempo mengadakan serangkaian pelatihan dalam pemantauan karhutla oleh warga di tiga desa, di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Tempo membuka untuk warga tiga desa yang sudah ikut pelatihan mengirimkan laporan ke TempoWitness (https://witness.tempo.co/).
Berbeda dengan studi kasus komunitas adat Kanayatn Binua Sungai Manur, RECOFTC dan Tempo menargetkan kelompok yang menerima pelatihan jurnalisme warga adalah warga yang terlibat langsung dalam pemantauan dan pengendalian kebakaran hutan namun tidak pernah memberitakan atau diberitakan kegiatan dan permasalahan yang dihadapi selama pengendalian kebakaran ini. RECOFTC dan Tempo mengelompokkan mereka sebagai kelompok marjinal dimana mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat dalam pengendalian kebakaran. Kelompok ini terdiri dari golongan pemerintah dan warga desa di tingkat tapak. Diharapkan aspirasi dan pendapat mereka lebih tergaungkan melalui media (TempoWitness) sehingga publik lebih memahami bahaya dan tantangan yang dihadapi oleh kelompok yang ‘termarjinalkan’ ini dalam pengendalian karhutla.
Menggunakan aplikasi TempoWitness, warga yang sudah mengikuti pelatihan, bisa mengirimkan laporan dalam format video, foto, audio, dan teks. TempoWitness akan menayangkan dan membagikan informasi yang dikirim warga ke media sosial. TempoWitness memberikan kekuatan media kepada warga.
Tim RECOFTC dan TempoWitness telah melatih 20 warga dari Desa Muntialo, Desa Bram Itam Raya, dan Bram Itam Kanan, Desember 2019. TempoWitness sudah menayangkan 103 laporan. Ada 29 laporan terkait dengan kebakaran hutan dan lahan.
Sebagai information broker –perantara informasi– 20 warga tiga desa itu belajar bagaimana melaporkan informasi menggunakan cara-cara jurnalis. Mereka juga mendiskusikan informasi terkait karhutla apa saja yang bisa mereka laporkan.
Program RECOFTC dan Tempo ini memiliki agenda setting bahwa bahaya karhutla dapat dicegah dengan baik melalui pembingkaian narasi oleh kelompok marjinal ini bercerita tentang penyebab, kendala dan tantangan yang dihadapinya. Warga mendapatkan akses “kuasa” atau power dengan terhubung ke Tempo dan publik secara luas memahami bahaya, penyebab, dan kendala yang dihadapi oleh kelompok marjinal ini. Tuntutan yang diharapkan tentu saja berkenaan dengan solusi atas akar permasalahan dan penyebab utama dari karhutla.
Keilmuan Warga (Citizen Science)
Penggunaan telepon selular pintar saat ini bukan hal yang baru. Ponsel pintar saat ini dilengkapi dengan kamera untuk mengambil video dan foto, mikrofon untuk merekam suara, GPS (global positioning system) menentukan koordinat, kompas, layar sentuh, tersambung ke jaringan internet. Di dalam pelatihan ini, RECOFTC juga memperkenalkan aplikasi Forest Watcher.
Aplikasi seluler Forest Watcher menghadirkan sistem pemantauan dan peringatan hutan secara daring yang dinamis dari Global Forest Watch. Aplikasi ini mampu memantau area yang diminati, meninjau peringatan deforestasi dan kebakaran, mengarahkan ke titik bahaya untuk penyelidikan, dan mengumpulkan informasi tentang apa yang Anda temukan. Aplikasi Forest Watcher ini membantu warga terhubung dengan sains khususnya dalam aspek deforestasi dan kebakaran.
Aplikasi ini diperkenalkan dan diharapkan dapat digunakan oleh kelompok pencegahan dan penanggulangan karhutla seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Manggala Agni, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), dan masyarakat Desa Muntialo, Bram Itam Raya, serta Bram Itam Kanan.
Dengan menggunakan aplikasi Forest Watcher ke dalam pelaporan TempoWitness, diharapkan warga dapat mendokumentasikan peristiwa, kondisi, dan informasi penting lainnya untuk kemudian dikirim ke editor Tempo. Setelah laporan diperiksa, editor menayangkannya. Editor akan menyebarkannya ke media sosial dan warga juga bisa ikut menyebarkan informasi yang mereka kirim.
Peran jurnalisme warga seperti TempoWitness bisa dimanfaatkan bukan hanya untuk memantau kebakaran lahan dan hutan, namun juga untuk memantau berbagai persoalan yang tidak secara langsung berkaitan dengan kebakaran lahan dan hutan. Sebagai contoh, ia dapat digunakan untuk memantau kondisi hutan, satwa liar, penebangan ilegal, dan pembukaan hutan illegal.
Namun, warga juga perlu diberikan pemahaman yang kuat berkenaan dengan sains/keilmuan berkenaan dengan penyebab bahaya kebakaran. Warga juga perlu dihubungkan dengan para ilmuwan yang akan memproses dan menganalisis data yang dikumpulkan para informasi perantara. Diharapkan, aplikasi Forest Watcher ini juga dapat menjadi penghubung antara warga dan para ilmuwan.
Referensi:
Adinugroho, W.C., I.N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo, and Labueni Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Arnstein, Sherry. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, Vol. 35, No. 4: 216-224
Entman, Robert M. 2004. Projections of Power: Framing News, Public Opinion, and US Foreign Policy. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Evayanti, Tengku dan Zulakarnaini. 2014. Partisipasi Organisasi Masyarakat Peduli Api (MPA) terhadap Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pelalawsn. Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 8. No. 1
Fadillah, Nurul, Sambas Basuni, dan Tutut Sunarminto. 2016. Pengendalian Kebakaran Hutan Oleh Masyarakat Peduli Api (MPA) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Media Konservasi, Vol. 21. No. 3: 216-224
Ferster, Colin J. and Coops, Nicholas C. 2013. A review of earth observation using mobile personal communication devices. Computer & Geosciences, 51: 339-349
Pratishast, A.K., M. Herold, V.D. Sy, D. Murdiyarso, and M. Skutsch. 2013. Linking community-based and national REDD+ monitoring: A review of the potential. Carbon Management, 4: 1, 91-104
Sukartik, Dewi dan Nurdin. 2017. Perilaku Komunikasi Masyarakat dalam Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan pada Desa Bebas Api (Fire Free Village) di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Jurnal Risalah, Vol. 28, No.2: 115-124
Tuler, Seth and Webler, Thomas. 2010. Voices from the Forest: What Participats Expect of a Public Participation Process. Society & Natural Resources: An International Journal, 12:5, 437-453
Zainuddin, Rosyani dan Bambang Haryadi. 2019. Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Lahan Gambut di Hutan Lindung Gambut (HLG) Londerang Provinsi Jambi. Jurnal Pembangunan Berkelanjutan, Vol. 1, No. 1
[1] Lihat https://www.portonews.com/2020/laporan-utama/klhk-menang-gugatan-karhutla-di-jambi/
[2] Lihat https://www.validnews.id/Polisi-Tangani-64-Kasus-Karhutla-Pada-Semester-I-2020-PZh
[3] Lihat http://www.remotivi.or.id/di-balik-layar/531/dulu-parang-sekarang-ponsel
###
Penulis, Harry Surjadi, adalah jurnalis senior Indonesia dengan pengalaman lebih dari 35 tahun dan spesialisasi dalam pelaporan lingkungan; dan Gamma Galudra, Direktur RECOFTC Indonesia.
Kegiatan jurnalisme warga melalui aplikasi TempoWitness ini dapat terlaksana dengan dukungan dari Global Forest Watch (GFW) dan media Tempo.