Tahun 2019, sebelum pandemi Covid-19 melanda, Mardha Tillah menghadiri lokakarya kepemimpinan gender di Bangkok. Saat itu beliau menjabat sebagai direktur eksekutif RMI-Lembaga Hutan dan Lingkungan Indonesia.
“Diskusi awal di lokakarya ini berfokus pada perhatian dan kesadaran diri,” kata Tillah. “Awalnya saya tidak paham bagaimana topik ini berhubungan dengan kepemimpinan.”
Namun seiring berjalannya waktu, kejelasan mulai muncul, dan Tillah mengalami momen yang membuka mata dan pikirannya.
“Saya sangat bersemangat,” kata Tillah. “Pelatihan ini berfokus pada gender dan mempelajari lebih jauh pemahaman terhadap identifikasi gender, apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan sebagai langkah pertama untuk menjadi pemimpin yang dapat diandalkan. Selama lima hari itu, saya berpikir tentang pemimpin lain yang memiliki kesempatan seperti ini untuk pencerahan.”
Dia mengirim SMS kepada rekan-rekannya, orangtua, dan suaminya: “Seandainya kita bisa menyelenggarakan sesi semacam ini di Indonesia dan mengalami perubahan positif ini.”
Menjadi Gelombang Pertama
Tillah dan 30 peserta lainnya dalam lokakarya tersebut merupakan pemimpin gender pertama dalam inisiatif WAVES RECOFTC. WAVES adalah singkatan dari Weaving Leadership for Gender Equality.
Para peserta menyatukan pengalaman yang beragam dan luas. Mulai dari tenaga ahli hingga pejabat tinggi pemerintah di Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Nepal, Thailand, dan Vietnam. Termasuk di dalamnya adalah perwakilan pejabat pemerintah, politisi, akademisi, direktur organisasi masyarakat sipil, manajer bisnis, dan jurnalis.
Sebagian besar dari mereka adalah perempuan, tapi ada juga laki-laki. Beberapa di antaranya memiliki 'pengembangan gender' dalam jabatan atau deskripsi pekerjaan mereka. Sementara, yang lainnya pernah mendengar istilah 'kesetaraan gender' tetapi hanya tahu sedikit tentangnya.
Semua peserta lokakarya memiliki kebijakan, proyek, atau ide yang ingin diimplementasikan sehingga tercipta ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi lebih setara dengan laki-laki dalam membuat keputusan tentang hutan.
“Semua peserta sangat menginginkan adanya pengakuan bagi perempuan untuk diakui dalam pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan memberikan lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan paparan langsung dalam memberi masukan tentang kebijakan,” kata Kalpana Giri, seorang rimbawan yang memimpin inisiatif WAVES di RECOFTC. “Mereka ingin mendengar apa yang dipikirkan perempuan dalam masyarakat sehingga mereka dapat memasukannya dalam rencana dan kebijakan pengelolaan hutan. Mereka juga ingin mengakui peran perempuan dalam berpatroli dan melindungi hutan."
Namun terlepas dari ambisi itu, semua peserta menghadapi hambatan yang menghalangi tercapainya tujuan mereka.
Memperbaiki Keadaan
Selama 30 tahun, RECOFTC telah bekerja untuk memberdayakan masyarakat hutan dalam mengelola dan melestarikan hutan dan lahan basah yang merupakan sumber kehidupan mereka. Dalam sebagian besar pekerjaan itu, pria selalu menjadi pengambil keputusan.
Di sektor kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam, komitmen nasional untuk memastikan kesetaraan gender telah menabrak semacam tembok tak terlihat, kata Giri.
“Tidak ada yang mengatakan, 'Saya tidak ingin bekerja pada kesetaraan gender'”, tambahnya. “Mereka berkata, ‘Ya, kesetaraan gender sangat penting, tetapi tidak ada anggaran untuk melakukan ini’.”
Jadi Giri mulai mencari cara untuk meruntuhkan tembok tak kasat mata itu.
Pertama, dia memutuskan untuk membuang pelatihan gender satu kali ke luar jendela. WAVES menjadi jaringan kepemimpinan dan pelatihan selama tiga tahun dengan dukungan teknis, finansial, dan psikososial.
Kemudian, pendekatan WAVES mengambil inspirasi dari model kepemimpinan relasional, yang menekankan pada hubungan antar manusia. Kepemimpinan relasional menghargai inklusi, pemberdayaan, tujuan, perilaku etis, dan orientasi proses.
"Pelatihan ini berfokus pada gender dan mempelajari lebih jauh pemahaman terhadap identifikasi gender; apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan, sebagai langkah pertama untuk menjadi pemimpin yang dapat diandalkan."
Mardha Tillah
Lokakarya pertama berfokus pada pertumbuhan pribadi setiap individu. Peserta belajar untuk refleksi sendiri dan menganalisis bias diri sendiri. Setelah itu, mereka mempertimbangkan pengkondisian sosial orang lain dan bagaimana bias mereka adalah produk dari sosialisasi diri sendiri. Memahami konsep-konsep ini membuat para pemimpin gender mengubah cara mereka berhubungan dengan orang lain.
Para pemimpin gender tidak mengubah pekerjaan mereka. Sebaliknya, mereka mengubah cara mereka bekerja. Menurut mereka, saat ini mereka menjadi lebih multidimensi dalam menjalankan program yang ada atau yang direncanakan.
Kesadaran Diri Memicu Perubahan
Wawancara lanjutan yang dilakukan dua tahun setelah lokakarya awal itu menyatakan bahwa semua peserta pelatihan meninggalkan kursus dengan sudut pandang yang berubah tentang bagaimana menjadi pemimpin gender yang baik. Selain itu, mereka memiliki kesempatan untuk mempraktikkan teori dan pembelajaran saat kembali melakukan tugas-tugas dan pekerjaan di negara asalnya.
Tillah menyadari bahwa melakukan refleksi juga harus diterapkan pada organisasinya. Dia memobilisasi rekan-rekannya untuk meresmikan kebijakan gender yang terlupakan selama bertahun-tahun. Mereka memprakarsai audit gender untuk melihat apakah alat pemantauan dan evaluasi mereka menggunakan perspektif gender dan apakah program mereka peka gender.
“Untungnya audit menunjukkan bahwa kami peka gender,” kata Tillah. “Kami mendapat skor bagus, tetapi dengan catatan dan nilai untuk ditingkatkan.”
Seiring waktu, dia menemukan betapa sulitnya mengubah praktik yang sudah mengakar, seperti pemimpin desa laki-laki yang berbicara mewakili perempuan atau pemuda laki-laki yang memonopoli kesempatan pelatihan di masyarakat adat.
Pengakuan ini mendorong Tillah dan timnya untuk menyusun pedoman yang menetapkan bahwa tim lapangan harus memiliki satu fasilitator pria dan satu wanita. Fasilitator perempuan akan memimpin diskusi kelompok khusus perempuan.
“Tim mendirikan koperasi untuk perempuan ketika warga desa perempuan tidak diberi kesempatan pelatihan,” kata Tillah. “Kami sekarang memiliki perempuan muda adat yang aktif berpartisipasi dalam kelompok pemuda yang bekerja sama dengan kami. Banyak pemudi kini memprakarsai kebun kolektif di mana mereka menanam sayuran untuk dikonsumsi.”
Sekembalinya ke Myanmar, Khin Nyein Khan Mon memikirkan mengapa pelatihan dibuka dengan kesadaran diri. Tapi tak lama kemudian, dia juga mengalami 'momen aha' yang membuka mata dan pikirannya.
“Perempuan di negara saya dan di tempat kerja saya diperlakukan tidak setara,” kata Mon, seorang spesialis teknis di Myanmar Environment Rehabilitation-conservation Network. “Awalnya kami tidak mengetahuinya. Kami menerima karena kami pikir itu hal yang biasa. Tapi sebenarnya, itu tidak normal, tidak biasa. Jadi, kita perlu memahaminya terlebih dahulu. Kalau kita tidak memahaminya, bagaimana mungkin kita bisa bekerja untuk kesetaraan?"
Meruntuhkan Hambatan
Deepa Oli, seorang rimbawan dan penanggungjawab pada Unit Pengembangan Gender di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Nepal, juga meninggalkan lokakarya pertama itu dengan perspektif yang berubah secara dramatis. Dia kembali ke pekerjaannya dengan pemahaman dan pemikiran baru yang memberinya solusi terhadap hambatan yang telah lama membuatnya frustrasi. Dua tahun setelah lokakarya selesai, dia menyatakan bahwa lokakarya itu mengajarinya bagaimana menangani diskriminasi dan bias secara lebih konstruktif daripada dengan kemarahan.
Menurutnya, hal itulah yang telah membawa perbaikan.
“Hari-hari pertama dengan WAVES mengajari kami cara menilai sendiri jejak mendalam dari norma dan nilai sosial dalam proses pemikiran kami,” kata Oli. “Kami belajar bagaimana menjadi diri sendiri, mencintai diri sendiri, dan merangkul diri sendiri. Hal itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah saya lupakan. Pesan ini sangat menyentuh bagi saya. Ini menginspirasi saya untuk bekerja. Saya dapat menghargai diri saya sendiri dan dengan demikian menghargai orang lain.”
Oli juga berbicara tentang pemahamannya tentang istilah 'proses sosialisasi', yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Dia menyadari bahwa itulah yang akhirnya dia dan aktivis kesetaraan gender lainnya hadapi: Orang-orang yang menolak ide-idenya atau menantangnya adalah produk dari pendidikan dan proses sosialisasi mereka.
Kesadaran baru ini mengubah cara dia berinteraksi dengan siapa pun yang khawatir membicarakan gender akan menciptakan persaingan antara pria dan wanita.
“Saya meruntuhkan hambatan yang ada, dan bukan pada orangnya,” katanya saat menyadari banyak orang mempertanyakan niatnya tentang masalah kesetaraan gender. “Menjadi lebih tenang dan terorganisir adalah melakukan hal yang sama dengan cara yang berbeda. Ia berhadapan dengan cara yang strategis. Kalau saya langsung bereaksi terhadap sesuatu, resistensinya terlalu tinggi. Sekarang saya melakukan hal yang sama dengan cara yang berbeda; dan orang-orang sekarang mendengar apa yang saya katakan.”
Pentingnya Pengetahuan
Oli berbicara tentang gerakan dalam sektor kehutanan Nepal untuk mengatasi ketidaksetaraan, pelecehan seksual, dan pelanggaran lain yang menjadi penghalang bagi perempuan untuk menjalankan kepemimpinan mereka.
“Kami tahu ada sesuatu yang kurang untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan bermartabat, tetapi kami tidak dapat mengidentifikasi cara untuk menghadapinya,” kata Oli. “WAVES memberi kami kosakata untuk menggambarkan keseluruhan proses, yang kemudian membantu kami membingkai ulang narasi kami dan menemukan strategi untuk bergerak maju.”
Pelatihan kepekaan gender Kementerian Kehutanan dan Lingkungan memperkenalkan konsep sosialisasi kepada rimbawan.
“Kami menunjukkan kepada mereka bahwa cara berpikir individu bukanlah 'salahmu' atau 'salahku'. Ini adalah proses sosialisasi kami. Semua orang, baik pria maupun wanita, sekarang mendengarkan dan menyetujui apa yang kami katakan.”
Dia mengatakan jaringan rimbawan perempuan di Nepal sekarang mengarahkan perhatiannya pada empat prioritas: meningkatkan kapasitas kepemimpinan, menciptakan tempat kerja yang aman dan bermartabat, menjadikan pengarusutamaan gender sebagai bisnis inti di sektor mereka, dan menambah lebih banyak sekutu laki-laki.
Jaringan perempuan rimbawan menambahkan komponen pelatihan tentang pelecehan seksual. Ini mencakup analisis spektrum pelecehan untuk membantu orang membuat perbedaan antara kekasaran dan pelecehan. Ini membantu mempercepat proses perubahan.
“Perempuan rimbawan mulai melaporkan insiden pelecehan seksual karena toleransi sejarah akhirnya bergeser,” kata Oli. “Ini adalah perubahan besar yang bisa kita lihat sendiri.”
Lelaki sebagai Pemimpin Gender
“Perempuan bekerja di bidang kehutanan? Perempuan melakukan patroli di hutan? Yang benar saja!"
Mai Quang Huy mendengar banyak komentar dan lelucon yang tidak adil tentang perempuan saat ia diangkat menjadi direktur Phong Dien Forestry, sebuah perusahaan yang memproduksi dan memperdagangkan kayu, damar, bibit hutan dan tanaman herbal di Vietnam. Dia selalu merasa prasangka rekan dan kliennya tentang peran dan tanggung jawab perempuan di kehutanan adalah salah.
Sejak bergabung dengan WAVES, Huy mengarahkan perusahaannya untuk mengikuti kebijakan sensitif gender, menghilangkan pembagian kerja berdasarkan gender, dan memasukkan analisis gender dalam laporan tahunan. Perusahaannya kini mengharuskan adanya keterlibatan perempuan dalam pertemuan masyarakat dan memasukkan nama istri dan suami pada setiap kontrak kerja.
“Banyak rekan dan kolega saya bertanya mengapa saya tertarik pada isu gender dan mengapa saya tidak fokus pada perambahan hutan atau pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan,” kata Huy. Saya menjelaskan bahwa masalah gender adalah akar penyebab masalah ini dan pemecahan masalah gender membantu mengatasinya.
Pada hari-hari awalnya sebagai aktivis gender, The Chhun Hak berbicara tentang hak-hak perempuan, agenda global PBB, dan tekanan nasional untuk menindaklanjuti komitmen global. Saat ini, dia adalah direktur jenderal untuk divisi Kesetaraan Gender dan Pembangunan Ekonomi di Kementerian Urusan Perempuan Kamboja.
WAVES, katanya, mengajarinya untuk fokus membangun kemitraan yang saling menguntungkan.
“Cara saya bekerja dengan pemangku kepentingan tampaknya lebih baik,” kata Hak. “Saya belajar bagaimana membangun kemitraan dan itu tentang jangka panjang. Ini tentang bagaimana menyatukan semua orang untuk berbagi tujuan bersama.”
Menanamkan Kesadaran pada Kaum Muda
Pelatihan kesadaran diri awal juga sangat mempengaruhi Hak. WAVES mengajarinya untuk menjadi "transformatif," katanya. Dia menyadari bahwa perubahan mendasar dapat dicapai apabila kaum muda juga belajar tentang kesetaraan dan kepemimpinan sebelum mereka menjadi pemimpin.
Pada tahun 2020, Hak memprakarsai Lab Kepemimpinan Pemuda untuk Kesetaraan Gender, yang mencakup topik kesadaran diri. Lab sekarang menjadi program pelatihan satu tahun untuk menumbuhkan kepemimpinan dan kesetaraan gender di kalangan pemuda. Kaum muda membuat proposal untuk penelitian atau pemberdayaan masyarakat dan menerima bantuan untuk mendanai dan melakukan pekerjaan mereka.
Dia juga membentuk kampanye kepemimpinan di Kementerian Urusan Perempuan untuk menarik dan memperkuat jajaran junior.
“Ini telah menciptakan citra Kementerian yang dinamis di kalangan mahasiswa dan kaum muda yang sekarang mencari pekerjaan di sana,” katanya. “Mereka terinspirasi karena dapat melihat bahwa kesetaraan gender bukan hanya pemahaman yang sempit tentang isu-isu perempuan, tetapi sesuatu yang lebih luas yang mengarah pada perubahan nyata bagi masyarakat mereka.”
Tillah juga memperkenalkan program-program baru yang melibatkan kaum muda saat kembali ke Indonesia setelah lokakarya WAVES yang pertama. Dia membuat modul tentang kesadaran diri, stereotip, dan bias dalam kursus singkat untuk siswa kehutanan, siswa SMP, SMA, dan kaum muda di daerah pedesaan.
“Tanggapan para peserta selama kursus menunjukkan bahwa mereka memiliki bias dan stereotip yang sangat relevan untuk semua orang,” katanya. “Mereka menghargai pelatihan dan ruang untuk memahami ketidaksetaraan berbasis gender yang ditawarkan kursus.”
Dukungan yang Meningkatkan Kepercayaan Diri
Program WAVES bersifat komprehensif melalui pelatihan selama tiga tahun, bantuan teknis, dan pendanaan terbatas untuk proyek-proyek yang ingin dikejar oleh para pemimpin gender. WAVES juga menunjuk penanggungjawab di tujuh negara untuk memfasilitasi para pemimpin gender melalui obrolan grup atau percakapan dari hati ke hati.
Jika ada isu muncul saat pertemuan bulanan dengan Giri, dia akan menindaklanjutinya dengan pelatihan virtual sesuai kebutuhan. Giri sering terlibat dalam obrolan grup dan membuka pintunya untuk setiap pemimpin gender.
“Kegiatan ini membuat kami merasa tidak sendirian,” kata Hak. “Hal itu bukanlah investasi besar tetapi ini menjadi dukungan besar bagi kami karena telah membuat kami lebih percaya diri dengan mengetahui bahwa ada yang mendukung kita.”
“Dukungan psikososial tidak direkayasa ke dalam desain program,” kata Giri. “Kami menyediakan ruang yang aman untuk refleksi dalam menanggapi kebutuhan yang ada. Jika para pemimpin gender tidak mencapai target proyek mereka, kami akan mengatakan 'Oke apa yang terjadi, ceritakan kisah Anda'. Dalam sesi obrolan atau refleksi, ketika mereka datang dan bercerita, hambatan yang mereka laporkan tidak terbatas pada bagian teknis. Mereka mengatakan ketika ini terjadi, mereka hancur. Mereka siap untuk berhenti.”
Riak yang Membangun Gelombang Masa Depan
Setelah pelatihan WAVES pertama, peserta merasa lebih berdaya untuk melakukan perubahan, bahkan perubahan kecil yang dapat berdampak besar sekarang dan di masa depan.
Misalnya, seorang pemimpin gender di Indonesia mengubah ketentuan bahwa ibu hamil tidak boleh mengikuti pelatihan dan mendirikan fasilitas penitipan anak untuk anak-anak peserta pelatihan. Isu gender terintegrasi lainnya ke dalam kurikulum kehutanan universitasnya. Di Kamboja, para pemimpin gender memengaruhi rencana dan strategi aksi gender. Di Nepal, mereka bertujuan untuk mengembangkan 300 pemimpin gender di bidangnya selama dua tahun ke depan melalui pelatihan, webinar, dan konsultan karier.
Mungkin yang paling penting, WAVES telah membantu memberikan legitimasi teknis pada istilah 'kesetaraan gender'.
"Perempuan di negara saya dan di tempat kerja saya diperlakukan tidak setara. Awalnya kami tidak mengetahuinya. Kami menerima karena kami pikir itu hal yang biasa. Tapi sebenarnya, itu tidak normal, tidak biasa. Jadi, kita perlu memahaminya terlebih dahulu. Kalau kita tidak memahaminya, bagaimana mungkin kita bisa bekerja untuk kesetaraan?"
Khin Nyein Khan Mon
“Ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bisa dilakukan semua orang,” kata evaluator independen Dibya Gurung pada lokakarya WAVES online baru-baru ini. “Dulu merupakan praktik umum bagi siapa pun untuk memberikan masukan pada dokumen atau platform atau acara terkait gender. Sekarang penyelenggara memastikan bahwa seseorang memiliki pengetahuan atau pengalaman sebelum mereka memberikan masukan. Legitimasi semacam itu, nilai semacam itu, perlahan-lahan diberikan.”
Giri sependapat.
“Setiap kali saya bertanya kepada tim Myanmar apa yang telah mereka capai melalui WAVES, mereka mengatakan 'penerimaan'. Sebelumnya, orang-orang berkata kepada mereka, 'Tidak, tidak, gender tidak penting. Kami melakukan perhutanan masyarakat, itu sudah cukup.’ Sekarang, perlahan, karena webinar yang mereka lakukan, karena beberapa penilaian yang mereka lakukan, karena membuat keributan, orang-orang mendengar pesannya. Ada hubungannya.”
Dan pemimpin gender seperti Mon, dia melihat, sudah siap.
“Dia telah menemukan di sinilah dia berdiri, ”kata Giri. “Dia akan membutuhkan lebih banyak dukungan untuk mengelola resistensi itu dan membuat gender lebih terintegrasi dalam hutan kemasyarakatan. Tapi sekarang dia seperti, 'Oke, lanjutkan. aku bisa menerimanya’.”
###
Inisiatif Weaving Leadership for Gender Equality (WAVES) meningkatkan keterampilan kepemimpinan dan mendukung kapasitas para pemimpin untuk mengadvokasi kesetaraan gender. RECOFTC mengimplementasikan WAVES dengan dukungan dari Swedish International Development Cooperation Agency (Sida).
Pekerjaan RECOFTC terlaksana dengan dukungan berkelanjutan dari Badan Pembangunan dan Kerjasama Swiss (SDC) dan Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Swedia (Sida).