RECOFTC Indonesia
Cerita

Perhutanan Sosial di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Investasi

15 May 2023
Lasmita Nurana
Indonesia dapat mencapai target pembangunan nasionalnya melalui perhutanan sosial yang membuka jalan bagi masyarakatnya untuk menjadi pengelola sumber daya hutan dan penjaga kelestarian lingkungannya.
In Focus
One of the social forestry landscapes in West Java, Indonesia
Foto: ©RECOFTC Indonesia

Sebagai bagian dari Program Nawacita oleh Presiden Joko Widodo, perhutanan sosial memegang peranan penting dalam mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target alokasi lahan seluas 12,7 juta ha untuk Perhutanan Sosial. Hingga April 2023, lebih dari 5,3 juta hektar kawasan hutan telah dialokasikan untuk dikelola secara legal oleh lebih dari satu juta rumah tangga melalui skema perhutanan sosial.

Untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam mencapai target nasional, RECOFTC dan NTFP-EP mengadakan sebuah lokakarya nasional yang bertema Tantangan dan Peluang Pengembangan Usaha dan Investasi Perhutanan Sosial di Jakarta, 9 Mei 2023. Lokakarya nasional ini merupakan bagian dari inisiatif UNREDD yang bertema Climate Change Mitigation through Social Forestry in ASEAN Countries di tiga negara yaitu Kamboja, Laos, dan Indonesia. Sebanyak 45 peserta turut hadir dan berpartisipasi secara langsung dalam lokakarya nasional ini dan 27 lainnya hadir secara daring.

Foto: ©RECOFTC Indonesia
Bapak Mahfud, sebagai perwakilan dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, memberikan kata sambutan dan membuka lokakarya nasional. Foto: ©RECOFTC Indonesia

Peluang dan Investasi Perhutanan Sosial

Di Indonesia, inisiatif ini dilaksanakan bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertujuan untuk promosi dan akselerasi investasi sektor swasta dalam perhutanan sosial. Kemitraan antara sektor perhutanan sosial dan sektor swasta diharapkan dapat meningkat dengan adanya replikasi model usaha yang teridentifikasi dan terdokumentasi melalui studi kasus yang menjadi bahasan dalam lokakarya ini.

Bapak Mahfud, sebagai perwakilan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), dalam pidatonya menyampaikan bahwa,”Praktik pengelolaan perhutanan sosial yang mendukung perubahan iklim tidak hanya memberikan dampak bagi penurunan emisi gas rumah kaca, pengurangan deforestasi dan degradasi hutan saja, melainkan membuka peluang praktik manajemen hutan berkelanjutan yang memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kegiatan pengembangan usaha berbasis masyarakat.”  

Demi menjaga hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain: integrasi hulu-hilir pasar, peningkatan produktivitas hutan, penyederhanaan regulasi untuk investasi, sinkronisasi tugas dan kewenangan pusat dan daerah terkait hutan produksi, peningkatan daya saing industri dan ekspor, multi usaha dan diversifikasi produk hasil hutan, serta pemberian akses kelola hutan produksi pada masyarakat dan UKM (usaha kecil menengah).

“Saat ini pemerintah membuat kategori kelas sebagai ukuran keberhasilan kelompok, dengan capaian per bulan April 2023 sebanyak 10.145 KUPS, yang terdiri dari 1% (50 KUPS) platinum/self-standing, 9% (939 KUPS) gold/sustain, 43% (4.350 KUPS) silver/implementer, dan 47% (4.806 KUPS) blue/beginner,” tambah Bapak Mahfud.

Pemberdayaan sumber daya hutan oleh masyarakat demi peningkatan kesejahteraan memang belum maksimal. Akan tetapi, perhutanan sosial memberi kesempatan besar bagi masyarakat desa hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dengan pemberian ijin yang panjang (35 tahun atau lebih), masyarakat hutan dapat mengelola sumber daya yang ada dan memaksimalkan pembagian manfaatnya dan lokakarya ini diharapkan dapat memfasilitasi diskusi oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

Foto: ©RECOFTC Indonesia
Ibu Catur Endah Prasetiani (tengah dengan microphone), Direktur Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial, turut hadir dan berpartisipasi aktif dalam lokakarya nasional. Foto: ©RECOFTC Indonesia

Tantangan Perhutanan Sosial

Berdasarkan data KLHK, saat ini akses kelola perhutanan sosial yang telah diberikan adalah seluas 5.319.208 hektar dengan 8.068 Surat Keputusan (SK) perhutanan sosial, yang telah dimanfaatkan oleh kurang lebih 1.190.627 penerima SK perhutanan sosial. Meskipun demikian, ada masalah krusial perhutanan sosial, yaitu perizinan dan administrasi yang panjang dan berbelit-belit. Banyak Kelompok Tani Hutan (KTH) yang merasa terbebani dengan proses persiapannya, pengajuan, pemberian ijin, hingga pendampingannya ke depan, saat ijin sudah didapatkan.

Ibu Sudarmi, Ketua Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang hadir secara langsung pada lokakarya di Jakarta, berkata,”Koperasi yang saya pimpin juga merasakan panjangnya proses administratif itu. Pada akhirnya, dengan bantuan banyak pihak, kami sudah berhasil mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat sekitar sebulanan yang lalu.“

Setelah mendapatkan izin perhutanan sosial, masyarakat diharapkan dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan melalui pengembangan usaha.  Tantangan yang dihadapi setelah masyarakat mendapatkan izin perhutanan sosial, adalah proses pendampingan. Problematika yang dihadapi dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah gap jumlah pendamping dibandingkan luasan areal dan jumlah kelompok yang membutuhkan dampingan.

“Selain itu, terkait dengan produk hutan setempat, ada tantangan lain yang harus dihadapi, seperti optimalisasi pemanfaatan hasil hutan oleh pemegang izin, khususnya dalam pengembangan peluang usaha dan investasi perusahaan sosial,” kata Bapak Gamma Galudra, direktur RECOFTC Indonesia dalam kata sambutannya.

Perhutanan Sosial Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Perhutanan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan, keseimbangan dan kelestarian lingkungan, serta dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

“Tata kelola usaha perhutanan sosial oleh masyarakat masih memerlukan transformasi, dalam hal pasar, aspek permodalan, dan pendampingan,” kata Bapak Mahfud.

Pemerintah terus menyatakan komitmennya untuk mendukung peningkatan investasi dan peluang usaha bagi masyarakat pelaku perhutanan sosial melalui pengembangan infrastruktur untuk menghubungkan sentra-sentra ekonomi terhadap pasar, serta mempermudah aksesibilitas pemasaran produk khususnya produk/komoditas dari areal perhutanan sosial.

“Saya sungguh mengapresiasi semua pihak yang mengadakan lokakarya ini. Diskusi tadi sungguh membuka wawasan baru dan saya belajar banyak melalui sesi berbagi pengalaman/pembelajaran dengan peserta lain,” kata Ibu Sudarmi.

Peserta lokakarya nasional yang berpartisipasi langsung di Jakarta. Foto: ©RECOFTC Indonesia
Peserta lokakarya nasional yang berpartisipasi langsung di Jakarta. Foto: ©RECOFTC Indonesia

 

###

Kegiatan lokakarya nasional ini dapat terlaksana berkat kerjasama dengan NTFP-EP dan dukungan dari Program Kolaborasi PBB untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara Berkembang (UN-REDD), yang dikenal sebagai Program UN-REDD.