APA 6th ed. Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia: Refleksi dan Kontekstualisasi Kebijakan Pembangunan Nasional. (2019, November 21). Retrieved from https://www.recoftc.org/publications/0000353
MLA 8th ed. Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia: Refleksi dan Kontekstualisasi Kebijakan Pembangunan Nasional. RECOFTC, 21 November 2019, https://www.recoftc.org/publications/0000353.
Chicago 17th ed. RECOFTC. 2019. "Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia: Refleksi dan Kontekstualisasi Kebijakan Pembangunan Nasional." Published November 21, 2019. https://www.recoftc.org/publications/0000353.
Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia: Refleksi dan Kontekstualisasi Kebijakan Pembangunan Nasional
Kembalinya isu agraria di ranah kebijakan nasional merupakan periode penting setelah berakhirnya Orde Baru. Kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RA/PS) telah masuk dalam RPJMN 2014-2019. Sejumlah 12,7 juta ha kawasan hutan diperuntukkan sebagai Perhutanan Sosial dan 9 juta ha sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Skema TORA ada dua model, yaitu: penataan kembali sektor pertanahan melalui legalisasi aset seluas 4,5 juta ha dan penyediaan akses tanah melalui redistribusi lahan seluas 4,5 juta ha.
Kebijakan tenurial kehutanan yang terimplementasikan dalam program RA/PS, memiliki beberapa masalah dan tantangan, baik yang bersifat substantif maupun administratif dan praksis. Di masalah substansi, diperlukan satu perubahan paradigma kebijakan SDA yang lebih berwatak eko-populistik yang pro-keadilan dan keberlanjutan dengan tafsir kerakyatan, bukan yang berwatak developmentalistik dan ektraktif. Tantangan dari kebijakan populis seperti RA/PS dan juga kebijakan tenurial kehutanan lainnya sekarang hadir dalam pusaran gurita oligarki politik SDA (nasional dan trans nasional) yang menciptakan beragam krisis sosial-ekologis; deforestasi, konflik, ketimpangan, dan kemiskinan struktural demi keutungan ekonomi politik segelintir kelompok dan golongan semata.
Dalam ranah praksis, kebijakan reforma agraria menghadapi tantangan dalam hal legalisasi asset, minimnya redistribusi lahan, dan masih jauh dari semangat restrukturalisasi ragam ketimpangan agraria. Objek TORA masih dominan di sektor kehutanan; padahal sektor perkebunan, pertambangan, pesisir kelautan, pulau-pulau kecil yang juga mengalami krisis, konflik, dan ketimpangan agraria belum tersentuh kebijakan agraria nasional terkini.
Dalam hal perhutanan sosial, tantangannya mencakup pembenahan di ranah kelembagaan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), penguatan payung regulasi yang lebih kuat, perbaikan prosedur perizinan (efektifitas waktu pengurusan), kompetensi sumber daya manusia (SDM), alokasi anggaran, perbaikan koordinasi, integrasi kebijakan, dan kepemilikan bersama dengan pemerintah daerah.
Dengan berbagai catatan di atas, refleksi yang diperlukan adalah berpikir ulang ke awal apa sebenarnya akar permasalahan tenurial dan agraria sebagai mandat konstitusional dan pondasi dari kebijakan pembangunan melalui tafsir kerakyatan bukan sekedar program dan agenda politik tahunan semata. Landasannya adalah perubahan paradigmatik tenurial dan sumberdaya alam yang lebih berkeadilan sosial-ekologis. Sebab sesat pikir akan menyebabkan sesat aksi.
Dengan demikian, untuk kontekstualisasi RA/PS diperlukan rekomendasi praksis yang terkait dengan upaya perubahan, koreksi, dan perubahan sistem kebijakan politik sumber daya alam (SDA) dengan cara membangun perbaikan tata kelola SDA yang berdimensi keadilan dan berkelanjutan. Inilah semangat yang yang harus menjadi pembenahan kebijakan RA/PS ke depan. Pembenahan yang lebih substantif daripada administratif.